Just another WordPress.com weblog

Daily Archives: April 5, 2010

Apakah Kita Sering “Mut-Mut-an?”

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 01 Februari 2010

Keunikan Mood Rasa-rasanya sudah biasa kita menggunakan istilah mood. Umumnya, istilah mood itu kita pahami sebagai suasana batin tertentu, bisa bad dan bisa good. Kalau melihat ke pendapat ahli, seperti yang dikutip Wikipedia misalnya, mood adalah keadaan emosi (state of emotion) yang berlangsung secara relatif, yang sebab-sebabnya seringkali subyektif atau tidak jelas. Jika seseorang merasa takut, itu ada sebabnya, entah faktual atau perceptual (sebab-sebab yang dipersepsikan seseorang). Sama juga kalau seseorang merasa gembira. Kegembiraan muncul karena sebab-sebab tertentu. Tapi untuk mood, sebabnya seringkali tidak jelas atau stimulusnya kerap kurang faktual. Misalnya  saja, kita tahu-tahu merasa bad mood saat mau berangkat ke kantor.

Penjelasan yang mirip sama juga bisa kita dapatkan dari bukunya Philip G. Zimbardo (Psychology and Life: 1979) tentang mood. Mood adalah keadaan emosi tertentu yang tidak masuk dalam kategori state (emosi yang dipicu oleh faktor eksternal tertentu) atau trait (bentuk emosi yang menjadi bawaan seseorang). Perubahan mood bisa berlangsung dalam ukuran jam atau hari. Bagi sebagian orang, perubahan mood kerap mempengaruhi gairahnya untuk  melakukan sesuatu atau bahkan bisa mempengaruhi keputusan dan tindakannya. Sejauh pengaruh itu tidak menyangkut ke urusan yang penting dan sangat menentukan, mungkin masih bisa kita bilang biasa.  Namanya juga orang hidup. Alam saja punya musim dan cuaca.

Tapi, bila itu sudah merembet ke urusan yang sangat penting, maka sulit rasanya untuk mengatakan itu biasa. Misalnya kita sedang menekuni keahlian tertentu. Jika gairah kita lebih sering dikendalikan oleh perubahan mood, mungkin akan sangat pelan kemajuan yang bisa kita raih, yang mestinya bisa kita raih lebih cepat, jika seandainya kita tidak mut-mutan (moody). Lebih-lebih jika perubahan mood itu sering kita alami sudah menyangkut ke urusan dengan orang lain atau organisasi. Misalnya kita tiba-tiba membatalkan janji dengan mitra gara-gara mood. Kita mengubah haluan yang sudah disepakati orang banyak gara-gara mood; atau kita mengambil keputusan penting yang menyangkut keluarga karena soal mood. Gampangnya ngomong, kita sudah menjadi orang yang mut-mutan sehingga sulit dipegang.   Mood Disorder Di dalam kajian Psikologi, ada istilah yang akrab disebut mood disorder atau perubahan mood yang sudah tidak sehat lagi atau kacau. Dr. C. George Boeree, dari Shippensburg University (Mood Disorder: 2003), menjelaskan bahwa Mood Disorder itu merupakan sisi ekstrim yang sudah tidak sehat (patologis) dari perubahan mood tertentu, misalnya terlalu girang atau terlalu malang (sadness and elation).  Definisi di atas rasa-rasanya sudah cukup untuk kita jadikan sebagai acuan perbaikan diri. Lain soal kalau kita ingin menggunakannya untuk presentasi tugas-tugas akademik yang menuntut sekian teori, perspektif, dan analisis data atau fakta. Untuk kepentingan perbaikan diri, pengaruh perubahan mood yang perlu kita deteksi itu antara lain adalah:

  • Apakah perubahan mood itu sudah benar-benar ekstrim hingga sudah bisa dibilang sangat membahayakan, misalnya ugal-ugalan saat berkendaraan di jalan raya atau membanting barang-barang yang berguna buat kita hingga fatal?
  • Apakah perubahan mood itu sudah benar-benar dapat melumpuhkan fungsi kita dengan sekian tanggung jawab yang harus kita jalankan hingga kita menjadi orang yang “EGP” (Emang Gue Pikiran) terhadap tugas-tugas kantor, tanggung jawab profesi,  atau tugas sebagai orangtua?
  • Apakah perubahan mood itu sudah membuahkan tanda-tanda rusaknya hubungan kita dengan orang lain gara-gara misalnya banyak janji yang tidak kita tepati, banyak missed call atau SMS yang tidak kita jawab, dan lain-lain?

Sekian jawaban yang bisa kita gali dari pertanyaan di atas memang masih belum tentu bisa disebut Mood Disorder secara teori keilmuannya. Hanya saja, dengan menggunakan akal sehat, pasti kita sudah bisa menyimpulkan bahwa perubahan mood yang sudah menimbulkan bahaya dan kerusakan, tentu bukan lagi urusan yang biasa atau normal.   Gaya Hidup Depresif Apa yang pertama-tama perlu kita telaah ketika perubahan mood yang kita alami itu sudah berdampak pada hal-hal buruk seperti di atas? Salah satu yang terpenting adalah gaya hidup, kebiasaan, atau tradisi, dalam arti prilaku yang berulang-ulang kita lakukan secara hampir tidak kita sadari sepenuhnya. Pertanyaannya, gaya hidup seperti apa? Gaya hidup yang bisa menjelaskan munculnya mood secara kebablasan (patologis) adalah gaya hidup depresif.  Seperti sudah sering kita baca di sini, depresi itu adalah stress yang berlanjut atau gagal kita tangani secara positif.  Dalam prakteknya, depresi itu ada yang sifatnya respondent dan ada yang sifatnya sudah menjadi tradisi yang berlangsung lama.

Depresi yang sifatnya respondent umumnya dipicu oleh kejadian eksternal yang kita rasakan stressful, seperti misalnya ada tragedi diri yang membuat kita harus hengkang dari kantor atau perusahaan yang selama ini kita besarkan, perceraian yang diawali peristiwa yang menyakitkan, atau kematian yang tidak normalnya menimpa orang tersayang, dan berbagai peristiwa lain yang sulit kita terima secara langsung. Jika acuannya praktek hidup, depresi yang respondent umumnya diketahui sebab-sebabnya atau kronologisnya. Ini agak beda dengan depresi yang sudah menjadi gaya hidup. Mungkin ada pemicunya, tetapi pemicu itu tidak kita sadari sehingga menggunung dan berlahan-lahan membuat kita merasa dikelilingi oleh berbagai beban, tekanan, dan ancaman.

Untuk menelaan apakah praktek hidup kita sehari-hari sudah diliputi berbagai beban, tekanan, dan ancaman yang depresif itu, mungkin gejala umum di bawah ini dapat kita jadikan acuan:

  • Menurunnya energi untuk melakukan sesuatu, bad mood.
  • Sulit berpikir atau berkonsentrasi sehingga membuat kita lupa atau tidak menyadari tanggung jawab, dari mulai yang sepele, katakanlah seperti lupa membayar makanan yang kita ambil, dan semisalnya
  • Inginnya tidur terus atau sulit tidur, ingin makan terus atau sulit makan
  • Tidak care lagi terhadap urusan penampilan, misalnya acak-acakan
  • Sulit mengambil keputusan atau cepat berubah-ubah keputusannya (tidak bisa dipegang)
  • Mengalami kelambanan psikomotorik, seperti ngomongnya sepenggal-sepengal, lamban meresponi sesuatu, atau males ngomong
  • Berpikir secara tidak sehat mengenai kematian

Membebaskan Diri Dari Depresi Di literaturnya, memang banyak pernyataan ahli yang mengingatkan agar kita tidak cepat berkesimpulan bahwa perubahaan mood yang sudah menciptakan gangguan itu murni karena depresi. Untuk mengetahui sebab-sebab yang spesifik, diperlukan pendalaman oleh tenaga ahli. Dan itu umumnya butuh waktu. Tapi, hampir semua sepakat bahwa depresi dapat membuat seseorang lebih sering dikendalikan oleh suasana batin dalam mengambil keputusan sehingga layak bisa dibilang mut-mutan. Karena batin kita sedang depresif, maka keputusan kita pun mencerminkan gejala-gejala depresi seperti di atas. Misalnya tidak konsentratif, tidak bergairah untuk bertanggung jawab, dan seterusnya.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan agar depresi itu tak sampai membuahkan kebiasaan moody? Akan dibilang sombong jika kita berpikir sanggup mengantisipasi peristiwa depresif seratus persen. Banyak peristiwa menyakitkan yang tak sanggup diantisipasi oleh manusia atau oleh negara sekali pun, misalnya bencana. Ada bencana yang karena ulah manusia, tetapi ada yang karena sudah maktub (tertulis). Karena itu, selain memang perlu mengantisipasi, kita pun perlu melakukan mekanisasi (menciptakan mekanisme pertahanan-diri) untuk menghadapi peristiwa yang sudah tak bisa diantisipasi. Mekanisme ini dapat kita kelompokkan menjadi dua, yaitu:

  1. Mekanisme eksternal
  2. Mekanisme internal

Katakanlah kita kini merasakan situasi kantor atau rumah tangga yang benar-benar depresif dan sebab-sebabnya sudah ruwet, seperti benang kusut. Mekanisme eksternal yang bisa kita lakukan antara lain: mengatur (to manage), mengubah, memperbaiki, atau pindah ke situasi baru.  Tapi ini men-syaratkan kemampuan, kemantapan, dan tangggung jawab. Jika itu belum sanggup kita jalankan, maka yang bisa kita lakukan adalah menciptakan mekanisme internal. Jumlah dan bentuk mekanisme internal yang diciptakan Tuhan untuk mempertahankan hidup itu sangat tak terbatas, dari mulai menciptakan interpretasi baru, opini baru, definisi baru, makna baru, refleksi baru, sikap baru dan seterusnya.

Mekanisme internal itu intinya adalah upaya kita menciptakan pikiran, perasaan, dan keyakinan yang membuat kita menjadi lebih kuat dan lebih tercerahkan. Mekanisme internal ini bahkan lebih berperan ketimbang mekanisme eksternal dalam mengkondisikan seseorang menjadi depresi atau tidak. Dalam prakteknya, belum tentu orang yang di penjara itu lebih depresif ketimbang orang yang bebas. Belum tentu orang yang namanya dan gambarnya dijadikan sasaran tudingan dan hinaan di media atau demo itu lebih depresif. Bisa ya dan bisa tidak, atau bahkan malah bisa semakin matang, tergantung mekanisme internalnya.
Yang perlu kita jauhi bersama adalah, sudah kita belum mampu menciptakan mekanisme eksternal (karena soal berbagai cost), menciptakan mekanisme internal yang gratis pun tidak kita ciptakan. Atau malah membangun mekanisme internal yang semakin men-depresi-kan diri sendiri hingga membuat kualitas keputusan hidup kita menurun drastis atau mut-mutan melulu. Memang, mekanisme internal itu muncul dari sekian dukungan, mungkin nilai, ilmu, informasi, dan yang terpenting lagi adalah latihan (proses dan prosesi).

Semua dukungan itu hanya akan kita dapatkan setelah ada pondasi yang kuat, yaitu:

  1. Munculnya dorongan untuk berubah ke arah yang lebih baik
  2. Menyadari adanya kebutuhan untuk berubah.

Jika dua hal ini tidak ada, mungkin semua pintu akan tertutup. Dari laporan penelitian beberapa ahli diakui bahwa yang membuat orang tak kunjung bisa menguasai mood-nya adalah karena orang itu tidak menyadari adanya kebutuhan untuk mengubah dirinya. Bahkan mungkin merasa itulah yang benar.   Berpikir Hidup Ini Hanya Sekali Tidak semua perubahan hidup yang kita nilai sangat fundamental itu harus dimulai dari pemikiran yang canggih, pintar, dan kompleks. Itulah hebatnya keadilan Tuhan. Adakalnya bisa dimulai dari pemikiran yang sederhana, yang tidak hanya diketahui oleh para profesor, dan mungkin salah. Contohnya adalah berpikir “Hidup ini hanya sekali”. Untuk kita, ini salah karena hidup itu dua kali, tidak ada kalimat yang canggih di situ, dan  tak ada teori yang melatarbelakanginya. Tapi, jika kita berhasil menggunakannya untuk mengantisipasi munculnya gaya hidup yang depresif, hasilnya akan canggih. Dengan berpikir seperti itu, kita akan segera sadar, untuk apa kita membiarkan diri larut dan hanyut ke dalam gaya hidup yang depresif, wong hidup hanya seperti mampir ngombe (numpang minum) saja? Kenapa nggak kita nikmati saja hidup yang hanya sekali ini dengan sekian mekanisme yang bisa kita buat? “Gitu aja kok repot?”, mengenang ucapan Gus Dur semasa masih hidup.   Semoga bermanfaat. (copy : e-psikologi.com)


Facebook dan Gejala Autisme Sosial Remaja

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 05 Maret 2010

 

Dimanakah Bahayanya FB?
Di awal tahun 2010 ini, kita dikejutkan oleh pemberitaan miring seputar penyimpangan sejumlah remaja yang gara-garanya Facebook (FB). Seorang remaja putri di Jawa Timur, nekat lari ke Jakarta, meninggalkan orangtuanya, setelah berkenalan dengan teman baru dari Tangerang melalui FB. Kata polisi, mereka telah melakukan perbuatan yang jauh belum saatnya.
Kasus yang sama menimpa remaja A di Jawa Tengah. Setelah sering menggunakan seluler  untuk FB-an, remaja itu menghilang entah kemana. Ada semakin banyak orangtua yang menggelisahakan aktivitas putra-putrinya sehabis sekolah. Mereka tidak pulang. Mereka mampir di warnet untuk FB-an.
Bahkan, di jam-jam yang mestinya mereka masuk kelas pun, mereka kedapatan nongkrong di warnet, seperti yang terjadi di Depok. Setelah dilihat apa yang mereka lakukan, ternyata isinya balik lagi ke YM dan FB. Di Lampung, 4 pelajar remaja diberhentikan dari sekolahnya karena dinilai telah menghina guru mereka melalui  FB.
Berdasarkan kasus-kasus itu, muncul pro-kontra dalam masyarakat. Ada yang berpendapat, FB harus diharamkan karena madhorot-nya. Tapi, kenyataan di lapangan sepertinya kurang bisa menerima secara plong pendapat ini. Alasannya, menurut pendapat yang tidak setuju, “ Kan bukan FB-nya yang salah. Yang salah kan otak manusianya?”,  begitu kira-kira.
Alasan lainnya, FB tidak otomatik memberikan madhorot. Bahkan sempat terbukti memberikan maslahat, minimalnya  untuk kelompok atau orang tertentu. Katakanlah di sini dukungan untuk Pak Bibit-Chanda, dukungan untuk pulau Komodo, dan lain-lain. Malah sekarang ini, FB telah dijadikan tren menggalang dukungan.
Terlepas pro-kontra itu, tetapi faktanya FB itu sudah ada di depan mata dan nyata. Sebagai produk tehnologi, dia hanya enabler (perangkat yang membuat kita mampu), bukan creator (perangkat yang berinisiatif sendiri). Karena enabler, dia bisa berbahaya dan juga bisa bermafaat, tergantung  di tangan siapa. Man behind the gun.
Autisme Sosial Remaja
Sebut saja di sini keluarga Pak Djodi yang secara ekonomi masuk di kelas menengah. Karena ayah dan ibu bekerja di luar rumah, keluarga ini punya agenda memanfaatkan waktu liburnya untuk kumpul keluarga: ayah, ibu, dan kedua anaknya yang remaja.
Tapi apa yang terjadi selama di kendaraan dan di restoran? Kedua anaknya sibuk memainkan hape untuk sms-an atau FB-an dengan temannya yang entah di mana. Walhasil, hanya kelihatannya saja itu acara keluarga. Batin anaknya tidak involve 100% di proses acara keluarga itu. Malah terkesan buru-buru ingin meninggalkan acara karena ada urusan di luar lewat hape.
Ilustrasi di atas rasa-ranya sudah bukan fiktif lagi saat ini. Itu sudah menjadi fakta. Anak-anak remaja saat ini menghadapi banyaknya pilihan dan godaan yang ditawarkan layar kaca dan dunia maya, dari mulai hape, internet, game, dan lain-lain. Mungkin, orangtuanya dulu menghadapi tantangan berupa sedikitnya pilihan dan banyaknya keterbatasan.
Pertanyaannya, tantangan manakah yang sebetulnya lebih berat? Tantangan yang kita hadapi dulu atau tantangan yang dihadapi anak-anak kita sekarang ini? Namanya tantangan, pasti sama-sama berat. Karena itu, terkadang tidak seluruhnya tepat kalau kita mengatakan kepada anak, misalnya begini: “Kan hidupmu sudah enak, tidak seperti ayah-ibu dulu?”
Layar kaca dan dunia maya adalah tantangan generasi sekarang. Jika sikap mentalnya tidak tepat, misalnya berlebihan atau disalahgunakan, akan memberikan bahaya yang ekstrimnya seperti pada kasus-kasus di atas. Bahaya lain yang kelihatannya tidak ekstrim, tetapi tidak bisa dianggap remeh adalah melumpuhnya ketrampilan sosial (autisme sosial).
Padahal itu sangat dibutuhkan bagi kehidupannya di alam nyata, di sekolah, di tempat kerja, di keluarga, di masyarakat, dan seterusnya. Beberapa gejala kelumpuhan sosial yang perlu kita amati itu antara lain:
§  Rendahnya kemampuan bertatakrama, tatasusila dan etika dalam berkomunikasi.
§  Rendahnya  kemampuan membaca  bahasa batin dalam berkomunikasi
§  Melemahnya kepekaan terhadap kenyataan sehingga tidak mampu menyelami “What is happening” dan “What to do”
§  Membudayanya berpikir yang serba tehnik dalam menghadapi hidup karena terbiasa menghadapi tehnologi sehingga kurang bisa “soft” atau bijak
§  Rendahnya  kemampuan menyelesaikan konflik dalam interaksi
Itu semua akan terjadi apabila penggunaan layar kaca dan dunia maya berlebihan atau tidak berkonsep, misalnya hanya untuk hahak-huhuk atau hanya karena desakan tren dan distraksi (gangguan pengembangan-diri) yang jauh dari sesuatu yang important (penting) atau priority (sangat penting).
Lain soal kalau digunakan untuk menjalankan konsep, seperti mahasiswa di Malang yang berhasil menciptakan game kelas internasional karena sering di warnet dekat rumahnya. Atau juga untuk mengkaji dan menambah pengetahuan, seperti yang dilakukan anak MAN di Bandung yang ilmunya lebih bagus dari gurunya gara-gara internet.
Pentingnya Interaksi Langsung
Sejak zaman dulu, peradaban manusia telah menawarkan berbagai cara untuk berkomunikasi, tidak selalu langsung berhadapan dan bergesekan. Misalnya saja surat-menyurat yang sudah dikenal sejak dula kala. Kemudian muncul tehnologi dengan menggunakan telepon. Dan kini muncul yang lebih canggih, chating atau FB.
Ada fakta menarik yang kerap luput dari kesadaran kita bahwa meski kemajuan zaman itu menawarkan sekian cara berkomunikasi, tetapi untuk kepentingan learning (mendewasakan manusia), belum ada yang bisa menggantikan atau mengungguli peranan komunikasi langsung (interaksi).
Malah kalau menurut laporan riset mengenai social learning (belajar dengan melihat orang lain), ternyata pengaruh interaksi melebihi pengajaran di kelas, seminar, atau belajar dari internet, terutama untuk pembelajaran perilaku. Adapun untuk menambah pengetahuan (pembelajaran intelektual) memang sekolah tidak ada duanya.
Kalau logika ini kita kaitkan dengan masalah yang mengancam kemampuan sosial remaja di atas, maka beberapa poin penting yang perlu kita sadari adalah:
§  Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin berkurang kesempatannya untuk belajar bertatakrama, tatasusila dan beretika. Dunia maya hanya mengajarkan apa yang ditulis. Soal tatakrama, tentu sangat minim. Seorang mahasiswa yang kebetulan asyik sms-an lalu menabrak dosennya, mungkin hanya akan bilang sori, dengan muka yang biasa-biasa. Padahal, secara tatakramanya mestinya tidak begitu.
§  Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin sedikit kesempatannya membaca suara batin orang lain. Kemampuan membaca suara yang tidak terdengar dalam komunikasi hanya bisa digali dari interaksi langsung. Menurut Peter Drucker dan juga praktek hidup yang kita alami, kemampuan membaca menjadi kunci dan tertinggi kualitasnya.
§  Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin kecil kesempatannya untuk merasakan dan menangkap apa yang terjadi nyata di sekelilingnya, seperti pada kasus ilustrasi  keluarga Pak Djodi di atas. Atau juga bisa menjadikan FB sebagai pelampiasan mengatasi rasa malu dengan cara melarikan diri dari realitas, bukan work on reality.
§  Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin kecil kesempatannya untuk menggunakan pikirannya bagaimana berkreasi secara kreatif menghadapi konflik dalam praktek hubungan. Di dunia maya, begitu kita tidak cocok dengan seseorang, tulis aja atau delete aja. Tapi, dalam praktek hidup, itu tidak bisa.
Kalau dilihat dari konsep pendidikannya, dunia maya dan layar kaca pun dibutuhkan dalam mendewasakan manusia. Tetapi, jangan sampai itu menggantikan interaksi langsung, kecuali untuk ruang dan jarak yang tak bisa ditembus. Kenapa?
Dunia maya dan layar kaca hanya sampai pada memberi sumbangan dalam bentuk data, informasi, dan pengetahuan. Untuk praktek hidup, ini perlu ditambah lagi dengan wisdom. Darimana ini digali? Wisdom digali dari praktek, dari interaksi, dari konflik, dari gesekan, dan dari pemaknaan.
“DATA – INFORMATION – KNOWLEDGE – WISDOM”
Manajemen Layak Kaca & Maya Di Sekolah Dan Rumah
Akhirnya, mau tidak mau, kita harus berurusan dengan manajemen (pengaturan dan pengelolaan) untuk anak-anak kita yang sedang gandrung-gandrungnya FB dan Hape.  Cara yang paling simpel, namun biasanya kurang ngefek itu adalah yang ekstrim, misalnya melarang atau membiarkan.
Ini karena pada setiap perkembangan manusia itu memunculkan watak ganda. Pada remaja, satu sisi dia harus tahu perkembangan zaman dan terlibat di dalamnya agar dia bisa bersikap. Kalau kita memaksa dia harus seperti kita, mungkin dia akan manjadi manusia terkuno di zamannya nanti.
Tetapi di sisi lain, konsistensi dia dalam memegangi ajaran moral dan mental itu masih labil, belum terkonstruksi secara kuat, layaknya orang dewasa. Karena itu, memberi cek kosong kepercayaan pada remaja, seringkali membuahkan penyesalan di kemudian hari.
Nah, manajemen di sini berguna untuk bagaimana kita tetap memberi kesempatan kepada mereka terlibat dalam perkembangan zaman, namun tidak sampai termakan oleh asumsi bahwa anak kita pasti sudah bisa menjaga dirinya sehingga kita terlalu membiarkan.
Agar manajemen ini bekerja, tentu dibutuhkan aksi, entah itu sosialisasi pemahaman, regulasi penggunaan, atau antisipasi penyalahgunaan. Untuk tehniknya, pasti kita punya cara sendiri yang lebih membumi. Hanya, secara umum, tehnik yang bisa kita acu itu antara lain:
§  Memberi bekal pengetahuan dan penyadaran mengenai hebatnya tehnologi dan potensi bahaya yang bisa ditimbulkannya. Anak kita sudah tahu itu, tetapi ucapan kita tetap diperlukan
§  Mengorek sikap anak terhadap kasus-kasus remaja terutama yang ditudingkan ke FB untuk memperkuat konstruksi sikapnya dalam menghadapi hidup
§  Beradu kompetisi untuk menemukan data, informasi, dan pengetahuan melalui internet dengan anak atau minimalnya belajar dari anak atau belajar bersama dia.
§  Perlu memonitor apa yang dilakukan anak selama berinteraksi dengan hape atau FB untuk memberikan ide-ide evaluasi konstruktif (membangun).
§  Perlu untuk tidak memberikan privacy yang berlebihan pada anak, misalnya kamarnya dikunci, di lantai II, bebas main internet tanpa pantauan, sms-an sampai tengah malam, pulang sekolah seenaknya, dan seterusnya.
§  Tetap memberi ruang untuk berinteraksi dengan kita secara nyata, face-to-face, dan real life agar terjadi gesekan, social learning, dan dinamika.
Yang Baik Pun Kalau Berlebihan Menjadi Kurang
Sampai pun kita  tahu bahwa anak kita menggunakan internet itu untuk kebaikan, namun kalau berlebihan, misalnya berjam-jam di depan komputer, itu bisa menjadi kekurangan buat dia. Membaca buku itu sangat bagus, tetapi kalau berlebihan, terkadang menciptakan kekurangan, misalnya tidak bisa ngomong secara flow (mengalir), kurang tahan menghadapi kenyataan, atau keseimbangan fisiknya kurang.
Selama masih usia remaja, akan lebih bagus kalau dia merasakan berbagai pengalaman hidup, lebih-lebih pengalaman yang sedang ngetren di zamannya, namun tetap kita arahkan untuk memfokusi beberapa bidang yang nantinya berguna untuk dia, sambil bekerjasama untuk memantangkan mental dan moralnya.
Semoga bermanfaat. (copy : e-psikologi.com)

Sejarah FacebookSummary:liwee
Facebook adalah sebuah social networking yang baru saja dirintis pada tahun 2006 oleh seorang mahasiswa Harvard yang bernama Mark Zuckerberg. Mark Elliot Zuckerberg atau Mark Zuckerberg lahir lahir pada 14 Mei 1984 di Dobbs Ferry, Westchester County, New York, Amerika Serikat (AS).
Ide berawal ketika dia bersekolah di Exeter High School, New HampshireSaat itulah dia berkenalan dengan Adam D’Angelo. Zuckerberg lulus dan masuk Harvard University, awalnya membuat program Coursematch yang memungkinkan mahasiswa di kelas yang sama bisa melihat daftar teman-teman sekelas. Proyek selanjutnya membuat facemash.com. Lewat situs ini para pengunjung bisa memberi stempel “keren” atau “jelek” foto seorang siswa, dan membuat Zuckerberg dipanggil oleh Badan Administrasi Universitas Harvard karena dianggap membobol sistem keamanan komputer kampus, melanggar peraturan privasi di internet, dan melanggar hak cipta.
Oleh karena itu ia mebuat Facebook dan diluncurkannya pada tahun 2004. Dalam waktu singkat duapertiga mahasiswa Harvard jadi pengguna Facebook. Teman sekamarnya, Dustin Moskovitz dan Chris Hugh, dberhasil mengembangkan sayap ke Universitas Stanford, Columbia, Yale, Ivy College, dan beberapa sekolah lainnya di wilayah Boston. Dalam waktu singkat, mereka meluncurkan Facebook ke 30 sekolah.
Zuckerberg bersama Moskovitz dan beberapa teman lain pindah ke Palo Alto, California, liburan musim panas 2004 menyewa rumah kecil buat kantor. Oleh karena ingin mengerjakan Facebook dengan serius mereka meninggalkan Harvard. Di kantornya itulah Zuckerberg bertemu Peter Thiel, pendiri Paypal, yang ngasih dana segar sebesar US$ 500.000 ,merupakan investor pertama mereka sehingga mereka bisa pindah ke kantor yang lebih besar di di Universitas Avenue yang dinamai sebagai kantor “Kampus Urban”
Pada 23 Agustus 2005 Zuckerberg membeli domain facebook.com dari Aboutface Corporation senilai US$ 200.000 atau sekitar Rp 1,86 miliar. Pada 2 September 2005, Zuckerberg meluncurkan situs Facebook khusus untuk anak-anak sekolah menengah atas. Hanya dalam waktu 15 hari sejak peluncurannya, sebagian besar sekolah di AS sudah menjadi anggotanya. pada akhir tahun 2005, Facebook telah mencakup sekitar 2.000 kampus dan 25.000 sekolah menengah atas di AS, Kanada, Inggris, Meksiko, Puerto Riko, Australia, Selandia Baru, dan Irlandia.
Pada 27 Februari 2006, dia mulai mengizinkan para mahasiswa yang menjadi pengguna situs ini untuk menambahkan siswa-siswa SMA sebagai temannya. BusinessWeek, melansir kabar bahwa Zuckerberg tengah bernegosiasi dengan calon pembeli potensial Facebook. Tapi, akhirnya, dia menolak tawaran yang disebut-sebut bernilai US$ 750 juta atau sekitar Rp 6,97 triliun. Pasalnya, Zuckerberg menganggap harga itu terlalu murah. Saat itu, dia memperkirakan nilai Facebook US$ 2 miliar.
Pada April 2006, investor pertama situs ini, yaitu Peter Thiel, Greylock Partners, dan Meritech Capital Partners, menambah investasi di Facebook dengan menyetorkan dana US$ 25 juta. Facebook pun masuk ke India melalui Institut Teknologi India dan Institut Manajemen India.
Dia juga memberikan fasilitas Facebook Notes. Fitur baru ini merupakan fitur blogging yang memungkinkan pengguna memberikan tagging, memasukkan gambar, dan fitur-fitur lainnya. Selain itu, pengguna bisa mengimpor blog dari situs Xanga, LiveJournal, Blogger, dan situs blogging lainnya. Berkat fitur baru tersebut, pembaca bisa memberikan komentar terhadap tulisan yang dimuat pengguna Facebook. September 2006, Zuckerberg membuka layanan Facebook bagi semua pengguna internet. Namun, langkah ini justru menuai protes dari para pengguna dan pelanggan setianya. Alhasil, dua minggu berselang Facebook terpaksa membenahi layanan baru itu dengan membuka pendaftaran bagi pengguna internet yang mempunyai alamat surat atau e-mail yang jelas.
Peter Thiel, memprediksi pendapatan situs ini pada 2015 nanti bisa mencapai US$ 1 miliar. Nah, pada saat itu, nilai perusahaan pun bakal ikut meroket menjadi sekitar US$ 8 miliar. Ada juga iklan baris gratis di Facebook. Fitur yang diberi nama Facebook Marketplace ini diluncurkan pada 14 Mei 2007. Layanan baru ini pun langsung menjadi pesaing perusahaan-perusahaan online lain. Craigslist yang sudah lebih dulu menempatkan iklan baris di situsnya. Bisnis Zuckerberg pun kian mengalir lancar. Bahkan, Apple rela memperpanjang kerja sama dengan Facebook untuk memajang contoh musik iTunes.
Facebook membeli perusahaan Parakey Inc., dari Blake Ross dan Joe Hewitt, pada Juli 2007. Parakey adalah produsen aplikasi komputer yang mempermudah transfer data berupa tulisan, gambar, dan video ke sebuah situs di internet. Bill Gates, pada Oktober 2007 membeli 1,6% saham Facebook seharga US$ 240 juta. Pasalnya, Zuckerberg tidak berniat menjual semua saham Facebook sekaligus. Alasannya sederhana dan sungguh mulia, dia ingin Facebook tetap independen.
Pada 7 November 2007, situs ini meluncurkan layanan terbaru berupa pemasangan iklan dengan sistem yang disebut Facebook Beacon. Triliuner Hongkong, Li Ka-shing, tertarik untuk menanamkan duit senilai US$ 60 juta di Facebook pada 30 November 2007.
Sekarang jumlah pegawainya sendiri telah mencapai 400 orang. Namun, Facebook adalah perusahaan unik. para eksekutif dan petingginya masih berusia muda, antara 24 tahun-37 tahun. Markas besar Facebook lebih mirip asrama mahasiswa. Para pegawai, yang setiap hari mendapat jatah makan gratis, bekerja sambil melakukan kegiatan favoritnya. Ada yang bermain gitar, bersepeda, main pesawat kontrol, atau bergoyang ditemani musik racikan seorang disc jockey (DJ). Mereka juga tak perlu berpakaian rapi. Celana pendek dan sandal jepit adalah kostum favorit mereka di kantor. Zuckerberg mengaku ogah suasana kantor yang terlalu formal.
Meski sudah mampu menghimpun harta kekayaan hingga US$ 3 miliar atau sekitar Rp 27,9 triliun Zuckerberg tetap tampil apa adanya, seperti pemuda kebanyakan yang menggemari pakaian santai.

Sejarah Facebook Originally published in Shvoong: http://id.shvoong.com/humanities/history/1946922-sejarah-facebook/